The 1975: Suka Duka Jadi Kreatif, Paling Dihujat dan Dicinta


Jika kamu berpikir, jadi kreatif itu keren dan pasti akan dapat pujian atau hujan perhatian, kisah band The 1975 akan membuatmu berpikir sebaliknya. 

Kenyataannya, manusia tidak suka seni, manusia takut pada keindahan, mereka tidak mau hatinya disentuh dan pandangannya diubahkan.

Maka, ketika ada seseorang atau sekelompok orang yang mampu menciptakan hal baru atau pergerakan, maka seseorang atau kelompok itu akan dengan spontan ditolak dan diasingkan oleh manusia lain. Itulah yang terjadi berulang kali dan akan terus terjadi di masa mendatang.

Berhubung saya tidak hidup di zaman Freddy Mercury atau Prince, maka, saya akan bercerita tentang Band Rock favorit saya, The 1975.

Sekedar info, saya cukup kudet tentang kehidupan pribadi anggotanya. Jadi tulisan ini hanya dari pandangan penggemar dan karya mereka saja. Harapannya, dari cerita ini, kamu bisa mengambil hikmahnya, dan semoga bisa terinspirasi.

{tocify} $title={Daftar Isi}



What do you even call this music?

"On the surface, the answer’s easy and negating of further discussion—it’s pop, stupid, so sit back and enjoy it." – Vice

Yak, seperti itulah warna musik The 1975. Sangat aneh dan alternatif di masa awal kemunculannya. Begitu uniknya hingga tak ada satu pun lagu The 1975 yang bisa diremix, mereka punya beberapa tetapi tidak ada yang remixable dari lagu mereka. Tidak ada juga yang berusaha atau repot-repot mencoba. Bahkan vokalis band ini, Matty Healy, juga berusaha dan gagal.

The 1975 adalah band pop rock Inggris yang dibentuk pada tahun 2002 di Wilmslow, Cheshire. Sekarang berbasis di Manchester, band ini terdiri dari vokalis utama dan gitaris ritem Matthew "Matty" Healy, gitaris utama Adam Hann, bassis Ross MacDonald, dan drummer/produser George Daniel. Para anggota band The 1975 bertemu di sekolah menengah dan tampil bersama saat remaja. 

Sebenarnya, saya bukan orang yang paham-paham amat soal istilah musik. Yang saya tahu, saya suka musik Rock, Alternative, dan Classic. Ketika mendengar The 1975 pertama kali, yaitu lagu ini;


Saya pun mendengarkan keseluruhan album mereka. Kemudian, muncul album baru "I Like It When You Sleep, for You Are So Beautiful yet So Unaware of It" pada 2017 (yes, I am that old) dan band ini secara resmi menjadi band favorit saya. 

Yang saya tahu dalam kepala saya waktu itu, lirik dan alunan melodi mereka meminjami saya penjelasan untuk membahasakan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Seperti, kamu tahu suatu hubungan itu toxic dan akan berakhir, tetapi kamu tetap bertahan dan meromantisasi melankoli hanya karena kamu bisa (Robbers). Atau saat kamu kehilangan kekaguman pada seseorang tapi tak ingin melukai perasaannya (A Change of Heart). Dan saya pikir, bukankah itu saja cukup?

Saya pikir begitu, sampai pada suatu hari...

Sentimen pertama yang saya dapat ketika seseorang tahu saya menyukai band ini adalah, "wow, kenapa sih demen banget? Penggemarnya kan gitu semua... agak aneh..." Kurang lebih.

Baru setelah saya membaca media, saya baru mengerti bahwa band ini memang aneh karena tak biasa. Saat pemikiran semakin dangkal, The 1975 berani menyelam terlalu dalam. Karenanya mereka dianggap sok sulit dimengerti atau pretentious

Pada masa awal mereka muncul ke permukaan dan mulai di kenal, memang tidak ada yang menyukai mereka, kecuali penggemar yang sama "anehnya" bagi orang yang paling kece dan tidak aneh.



The Poetry is in The Street

"A Brief Inquiry into Online Relationships" (2017–2019) merupakan masa paling vocal bagi The 1975 menurut saya. Matty berani menyuarakan hal-hal yang paling penting baginya dan dimengerti oleh penggemarnya. Misalnya, lagu paling menantang pada saat itu adalah ini;


Di saat itu, penggemar The 1975 semakin bertambah. Ternyata, di masa yang cukup sulit, perasaan kita sebagai sesama manusia tetaplah berkaitan antara satu dan yang lain. 

Jika kamu ingat, saat itu Trump menjabat sebagai Presiden Amerika. Perang Dunia Ke-3 seolah akan terjadi sewaktu-waktu. Belum lagi, masalah lingkungan dan perubahan iklim yang dianggap hoax. Milenial masih terancam tak bisa punya tempat tinggal dan masa depan makin tak menentu. Tidak ada yang berani dan mampu mengambil tindakan atau berbuat sesuatu yang benar kala itu.

Siapa yang menyangka, bahwa band yang selama ini dipandang aneh, pretentious, dianggap tak akan bertahhan lama, justru berubah menjadi suara sebuah era, revolusi dan generasi.

Sebagai bagian dari generasi yang terdampak dan akan terdampak, saya rasa wajar jika The 1975 pun merasakan hal yang sama. Kita semua khawatir. Sebagai generasi yang akan tetap tinggal setelah mereka pudar, tentu saja... cemas. Dan di saat itu, saya melihat bahwa The 1975 kala itu meminjamkan suaranya pada semua orang, bukan hanya saya.


Frail State of Mind

Sebelum hiatus selama beberapa tahun, The 1975 merilis album kedua di tahun yang sama, “Notes On A Conditional Form”.


Secara lirik, itu adalah lagu protes yang menyerukan perubahan dan pemberontakan untuk menghadapi kekacauan global, politik dan lingkungan, dan membahas tema keputusasaan, urgensi, dan kecemasan.

Selain "People" ada pula lagu berjudul "Frail State of Mind" yang kagetnya, disukai oleh banyak orang. 

Dari sini saya rasa The 1975 semakin dimengerti oleh orang-orang yang sebelumnya merasa mereka sulit dipahami. Tapi bukan berarti The 1975 menjadi dangkal, justru sebaliknya, keadaan memaksa banyak orang menggali rasa dalam diri mereka lebih jauh, hingga akhirnya menemukan nada yang tepat.



Somewhere I Go When I Need To Remember Your Face

Tahun lalu, The 1975 akhirnya kembali dengan album baru "Being Funny In A Foreign Language" yang dibuka dengan single "Part of The Band". Ketika mendengar album ini, saya bagaikan kembali ke awal mengenal mereka dari "I Like It When You Sleep, for You Are So Beautiful yet So Unaware of It".

Setelah 2 album di 2019-2020 mereka menyuarakan protes dan kecemasan, "Being Funny In A Foreign Language" diwarnai oleh melodi yang khas The 1975 seperti yang pernah terdengar.

Matty dan anggota band yang lain kini terlihat lebih tua. 


Meskipun begitu, The 1975 masih belum kehilangan pesonanya. Melihat panggung mereka di Madison Square Gaden dan cara mereka menghibur penonton, saya bisa memastikan satu hal, mereka akan menjadi legenda.



That's All I Need To Hear

Sebelum cerita ini berakhir, kira-kira, apa kamu bisa tebak, apa pesan yang ingin saya sampaikan?

Kalau malas mikir, tidak apa-apa, ini pesannya;

Jika kamu seorang seniman, penulis, atau kegiatan artistik apa pun yang sedang kamu lakukan sekarang, saya berharap, selama hal itu tak merugikan dirimu atau orang lain, semoga kamu tetap melakukannya terlepas dari apa pun yang terjadi, sekecil apa pun kemungkinan kamu bisa sampai ke tujuanmu.

Milikilah keberanian untuk menyampaikan kebenaranmu pada dunia. Jika kamu mampu, kembangkan passionmu. Jangan berhenti di satu titik dan menuntut dunia untuk peduli begitu saja. 

Kalau kamu yakin pada kebenaran itu, tidak akan sia-sia segala usahamu.

Kita tidak pernah tahu, mungkin ada satu orang, walau hanya satu, tapi jika dengan mengetahui kebenaran itu hidupnya bisa berubah, kemudian dunia ikut berubah.

Menjadi orang yang kreatif dalam sistem ekonomi kapitalis ini memang tidak mudah. Tapi, jika kamu mampu menemukan kebenaran itu, lalu apa yang kamu tidak bisa tanggung? 

Bukankah menatap kebenaran itu lebih menakutkan, makanya banyak orang yang gugur dan memilih jalan yang lebih nyaman. You know what I mean.

Jika kamu beruntung, maka kamu akan menikmatinya di masa hidupmu. Jika kamu abadi, maka yang akan menikmatinya adalah generasi selanjutnya. Ya, tidak ada yang salah, jika yang kamu sampaikan memang kebenaran.

Tesalonika

Artist, Writer, and (sometimes) designer. instagram email

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama

Translate