Moonhill Indonesia (moonhill.id) - Menyoal digagasnya the so-called “Perpres Jurnalisme Berkualitas” oleh Dewan Pers yang jadi bahan pembicaraan panas belakangan ini, membuat saya bertanya-tanya, “sebenarnya, media dan jurnalis seperti apa yang ingin dilindungi oleh Dewan Pers itu sendiri?”
Beberapa poin dari Perpres Jurnalisme Berkualitas ini dianggap bermasalah karena dapat mematikan konten kreator dan media-media kecil, mengancam kebebasan berpendapat dan berkespresi, juga riskan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya “kepentingan”.
Saya setuju, kalau peraturan tersebut memang dibuat untuk mendukung jurnalis dan media berkualitas, tapi kenapa ada beberapa poin yang menyulitkan media sipil dan konten kreator kecil?
{tocify} $title={Daftar Isi}
Menurut kacamata Dewan Pers, apa definisi dari “Jurnalisme Berkualitas” itu ya?
Saya masih belum lupa dengan berita-berita Hoax yang bermunculan sebelum Konser BORN PINK di Jakarta 2023 lalu. Mulai dari Berita Satu, Prambors, sampai Kompas TV dan RRI berani merilis berita seperti gambar di bawah ini:
Belum selesai sampai di sana, menjelang konser BORN PINK sekalipun, DetikNews dengan bangga dan lantang membuat headline bohong dan provokatif yang dampak buruknya tidak bisa diremehkan:
Sudah jadi rahasia umum di ruang redaksi dan obrolan offline masyarakat kalau media-media besar, memanfaatkan jurnalis-jurnalis yang tidak berlisensi untuk membuat informasi-informasi palsu demi mendongkrak traffic dan mendatangkan sensasi.
Jika media-media besar ini terus giring opini, memanfaatkan kekuatan mereka untuk mendukung golongan tertentu dan menyudutkan kelompok lain, ya…jangan protes kalau warga sipil tidak mau mendukung apalagi percaya dengan media-media besar seperti mereka.
Wajar dong kalau warga sipil lebih suka mengikuti konten kreator dan media sipil yang masih kecil-kecil.
Nah, kira-kira menurut Dewan Pers, apa sebenarnya definisi jurnalisme yang berkualitas itu? Apakah seperti gambar-gambar di atas, Jurnalis dari media besar? Atau justru kejujuran yang berusaha diutarakan oleh konten kreator dan media sipil?
Pelanggaran Kode Etik: Wajar Kita Tidak Percaya Media Nasional
Gak usah saya deh, beberapa waktu lalu, seorang public figure yang juga seorang aktivis perempuan, mencemaskan adanya penggunaan kata-kata yang merendahkan wanita di media-media nasional.
Sentimen warga sipil seperti saya, teman-teman saya, dan komunitas saya, tentu gak pernah jadi bahan introspeksi dari media-media besar seperti mereka. Notabenenya, kita lah audiens mereka. Perhatian kita lah yang mereka inginkan, bukan?
Bagaimana kita bisa percaya dengan informasi yang diunggah oleh media-media besar jika isinya lebih banyak provokasi, jualan pornografi tipis-tipis, sensasi, dan juga… menyudutkan serta mendiskriminasi golongan atau kelompok tertentu. Bagaimana kita mau percaya sama mereka? Coba, kita diskusikan dulu di sini.
Sebagai orang biasa, warga sipil yang super ordinary, saya pasti gak mau ikutan dan gak mau mendukung media-media dan jurnalisnya yang (menurut pandangan saya) gak punya kualitas, apalagi taste. Mereka adalah bagian dari masalah yang menurut saya lebih urgent untuk ditertibkan sesegera mungkin.
Katanya, mau dukung ekonomi kreatif? Katanya, negara demokrasi?
Sebagaimana disampaikan “Sepulang Sekolah”, beberapa poin dalam Perpres Jurnalisme Berkualitas yang di ajukan oleh Yang Maha Dewan Pers, berpotensi untuk mematikan konten kreator. Konten kreator adalah bagian dari ekonomi kreatif, bukan?
Selain itu, Google sendiri juga keberatan dengan poin-poin dalam Perpres Jurnalistik yang diajukan oleh Dewan Pers di Indonesia. Menurut Google, peraturan baru itu hanya akan menguntungkan media-media tertentu yang dari awalnya sudah media besar.
Konten kreator lain juga meyakini akan di-abuse dan diplintir nya peraturan ini seperti UU ITE, dimana nantinya, hak warga sipil di Indonesia untuk mendapat sumber berita yang beragam (soalnya kita kan demokratis ya) tidak akan terwujud lagi.
Wah rancu sih hahahahah… Bukankah lebih baik media-media besar yang ketahuan langgar kode etik itu ditindak oleh Dewan Pers?
Tapi saya, paling setuju dengan argumen yang diutaran Ferry Irwandi, Perpres Jurnalisme Berkualitas akan membuat Dewan Pers punya kekuasaan absolut atas penyebaran berita di Indonesia.
And you know what, absolute power corrupts absolutely.